SUMENEP, Seputar Jatim – Festival Tete Masa di Desa Juluk, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, resmi digelar sebagai meneguhkan langkah untuk membangun masa depan lewat tradisi.
Festival agrikultural yang tak hanya merayakan budaya menanam ini juga menyematkan harapan baru tentang siapa yang akan menjaga sawah ketika generasi lama mulai lelah.
Camat Bluto, Arman Mustofa mengatakan, bahwasa ini bukan sekadar festival, tapi pernyataan sikap terhadap realitas hari ini.
“Pertanian kehilangan pemuda, desa kehilangan semangatnya, dan budaya perlahan ditinggalkan. Melalui festival ini, pemuda ingin memulainya kembali dari sawah,” ujarnya. Selasa (15/7/2025).
Ia tidak ingin Saronggi hanya menjadi catatan dalam sejarah pertanian Madura. Pihaknya ingin Saronggi menjadi contoh bahwa pertanian bisa maju, menarik, dan tetap menghormati nilai-nilai lokal.
Sementara itu, Kepala DKPP Kabupaten Sumenep, Ainur Rasyid menyampaikan Tete Masa ini menanam bersama di awal musim bagaimana hidup selaras dengan alam, kerja kolektif, serta kesadaran bahwa keberlimpahan tidak lahir dari individu, melainkan dari kebersamaan.
Menurutnya, festival ini berusaha menghidupkan kembali suasana itu, tidak hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai ajakan, mari kembali menanam, mari bersama menjaga tanah.
“Salah satu tujuan utama Festival Tete Masa Nabur Belta adalah menarik kembali minat generasi muda pada dunia pertanian. Sebuah tantangan yang tidak mudah, di tengah anggapan umum bahwa bertani identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan,” bebernya.
Namun, lanjut dia, pihaknya percaya bahwa nilai budaya harus diramu dengan inovasi dan pendidikan. Maka dari itu, festival ini tidak hanya menyuguhkan atraksi budaya, tetapi juga menghadirkan ruang edukasi pertanian modern.
“Dari teknik tanam organik, pengenalan pupuk hayati, hingga pemanfaatan teknologi pertanian sederhana yang bisa diterapkan oleh petani desa,” imbuhnya.
Di samping itu, Wakil Bupati Sumenep, Imam Hasyim menyatakan, bahwa pihaknya tidak sedang mengulang masa lalu, tapi menjadikannya fondasi.
“Pemuda tidak akan tertarik jika hanya disuruh pegang cangkul. Kita harus beri mereka visi bahwa bertani bisa modern, berdaya, dan membanggakan,” tegasnya.
Ia menekankan, festival ini juga menjadi semacam diplomasi budaya Saronggi dalam menyuarakan pentingnya kedaulatan pangan yang dimulai dari desa.
“Dengan semakin banyak lahan pertanian di Madura yang beralih fungsi menjadi permukiman atau industri, Festival Tete Masa Nabur Belta menandai sikap tegas bahwa tanah subur harus dipertahankan untuk menanam pangan, bukan hanya beton dan aspal,” tukasnya. (Sand/EM)
*