SUMENEP, Seputar Jatim – Haul dan jamasan pusaka Desa Aeng Tong-tong Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur akan digelar pada tanggal 15-16 Juli 2024 dengan kirab pusaka dari Aeng Tong-tong menuju keraton setempat.
Oleh karena itu, dapat diketahui bersama bahwa di Sumenep ini, merupakan Kota Keris bahkan beberapa waktu lalu memiliki keris terpanjang se-Indonesia, yang sudah masuk Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), kemudian keris terpanjang itu kita jadikan monumen.
Sastrawan dan Budayawan Sumenep, Ibnu Hajar mengatakan, bahwa dalam momentum jamasan keris ini, merupakan bentuk warisan tradisi dari nenek moyang kita.
“Jadi salah satunya ini merupakan prodak kebudayaan juga dalam bentuk tradisi turun-temurun. Kata jamas sendiri itu berasal dari Jawa kuno, yang berarti mencuci dan memandikan (membersihkan),” ujarnya. Minggu (14/07/2024).
Kata dia, Kabupaten Sumenep yang memiliki empu terbanyak dan keris-keris Sumenep mulai dari era Arya Wiraraja sampai sekarang.
“Hal itu kan dikenal bahwa kita, memiliki pusaka yang namanya Keris, dan tradisi jamasan ini tidak hanya terjadi di pulau jawa atau di kota-kota yang memiliki keris, tetapi Sumenep juga memiliki tradisi yang seperti ini. Salah satunya yang dilakukan oleh saudara-saudara kita yang berada di Desa Aeng Tong-tong. Jadi wajar saja jika di Aeng Tong-tong itu ada tradisi jamasan keris,” paparnya.
Ia juga menegaskan, oleh karena itu, juga dapat diketahui bahwa di Aeng Tong-tong merupakan salah satu sentra pembuatan keris.
“Nilai-nilai yang seperti ini, saya lebih melihatnya bagaimana merawat tradisi. Jadi lebih kepada merawat tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur kita, terutama para pencinta keris juga disamping itu merupakan bentuk penghargaan terhadap karya seni berupa keris yang dibuat oleh empu-empu kita terdahulu bahkan oleh empu-empu milenial, sehingga pelestarian ini memang sangat perlu tetap dilestarikan,” tegasnya.
Disamping itu, lanjut Ibnu Hajar, dibalik hal jamasan ini, harus mampu dalam artian sebagai generasi milenial harus menghargai nilai-nilai kebudayaan.
“Sehingga tidak hanya keris sebagai pusaka, tidak hanya keris itu dianggap sebagai lambang prodak kebudayaan, akan tetapi bagaimana substansi dari jamasan ini, kita merawat tradisi yang dalam artian yang pertama yaitu bentuk penghargaan terhadap karya dan yang kedua bagaimana ini bisa menjadi ikhtibar untuk generasi sekarang agar tidak punah juga karya seni yang berbentuk keris ini kita rawat,” jelasnya.
Lanjut Ibnu Hajar mengatakan, ini juga bentuk upaya pelestarian dari benda-benda pusaka yang dimiliki dalam hal ini keris.
Oleh karena itu, kata dia, substansi-substansi dibalik jamasan ini memiliki nilai-nilai kearifan lokal, sehingga juga bisa memberikan motivasi kepada generasi-generasi sekarang untuk berkarya juga.
“Jadi keris-keris yang di prodak oleh nenek moyang kita dan empu-empu terdahulu itu tidak berhenti disitu saja, tetapi bagaimana empu-empu yang sekarang juga semakin produktif dan kreatif untuk melahirkan karya-karya yang berupa keris ituitu,” imbuhnya.
“Saya harapkan tradisi ini menjadi agenda rutin, karena biasanya tradisi jamasan ini di beberapa tempat biasanya dilaksanakan di bulan syura,” tukasnya.* (Sand/EM)