SUMENEP, Seputar Jatim – Lebaran Ketupat menjadi tradisi yang cukup kental di Sumenep, Madura, Jawa Timur, yang biasa jatuh pada H+7 Hari Raya Idul Fitri.
Hampir setiap rumah di Sumenep akan menyajikan berbagai hidangan ketupat pada perayaan Lebaran Ketupat atau bagi orang Madura dikenal dengan Tellasan Topa’.
Tradisi ini juga diisi dengan saling menghantarkan masakan ketupat antar tetangga. Lebih tepatnya mungkin bertukar masakan antara satu rumah dengan rumah yang lain.
Dibalik itu, ternyata ketupat ini memiliki filosofi yang cukup dalam, dan lekat dengan kearifan lokal. Beberapa orang menyebut bahwa ketupat atau dalam Bahasa Madura disebut ‘topa’, merupakan singkatan dari mamonto’ tabu’ se kepa’. Jika diterjemahkan dalam terjemahan bebas, bisa diartikan ‘mengenyangkan perut yang lapar’.
Namun ada juga yang menyebut topa’ itu ‘paesto ban pateppa’. ‘Esto’ apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia bisa berarti perhatian atau kepedulian. Sedangkan ‘pateppa’, bisa diartikan sebagai tingkah laku yang menjunjung tinggi etika dan kesopanan.
Salah satu Budayawan Sumenep, Ibnu Hajar menuturkan, singkatan topa’ atau ketupat itu sudah turun temurun dikenal masyarakat. Bahkan, ada filosofi mendalam pada sebutan topa’ atau ketupat.
“Topa’ di dalamnya berisi beras. Beras itu hanya diisi separuh ‘orong topa’ nya. Ketika dimasak, baru beras akan mengembang hingga penuh satu orong. Itu filosofinya bagaimana membangun ukhuwah antar manusia atau hablum minannas,” tuturnya, Jumat (4/4/2025)
Menurutnya, filosofi topa’ tidak hanya sekedar nama, tapi secara keseluruhan. Filosofi topa’ bisa dilihat dari banyak perspektif.
Kata dia, topa’ terbuat dari janur kuning, dan bukan daun lontar. Filosofinya adalah pohon kelapa itu tahan terhadap cuaca dan segala kondisi.
“Kemudian kenapa janur muda yang digunakan untuk membuat orong topa’, karena memang itu bagian paling baik dan menggambarkan masa depan. Jadi, filosofi ketupat memang kental dengan kearifan lokal,” beberny.
Ia pun mengaku, bahwa semua yang berkaitan dengan terjemahan filosofi, termasuk kebudayaan, masih sangat debatable.
“Kalau saya mungkin lebih baik yaa diambil sisi positifnya saja. Diambil yang baik-baik saja, supaya ada pelajaran berarti yang bisa kita ambil,” imbuhnya. (EM)
*