SUMENEP, seputarjatim.com- Sulit memang membendung niat warga Madura untuk mudik tahun ini. Mudik adalah tradisi. Pulang ke kampung halaman adalah sikap hormat, bagi mereka, perantau, pada sesepuh.
“Bukan benci perantau. Mereka juga saudara kami. Kami pun rindu. Tapi biarlah, kami harap tahun ini mereka tak mudik,” ujar Ami berkaca-kaca.
Ami sadar, bertemu dengan sanak saudara yang lama merantau adalah hal menggembirakan. Terlebih di momen Idul Fitri nanti. Tradisi toron telah mengakar di darah warga Madura. Lebaran berarti pulang. Lebaran adalah toron.
Namun berbeda tahun ini. Corona seperti sekat. Mudik adalah dilema. Perantau Madura mulai menimang-nimang tradisi toron.
“Kakak di Jakarta sempat telepon. Tanya kabar Abah dan Umi di kampung. Di awal Ramadhan kakak sudah memutuskan tak pulang kampung. Abah diam mendengar penjelasan Kakak. Saya ikut terdiam. Telponnya di Loudspeaker. Raut wajah Umi ikut lesu,” imbuh Ami.
Dua tahun bekerja di Jakarta tanpa pulang kampung memang terbilang lama.
“Tahun lalu kakak mau pulang. Tapi karena perusahaan minta Kakak kerja extra time, akhirnya Kakak batal mudik. Janjinya tahun ini, tapi ya gitu, sulit karena corona,” kata Ami terbata-bata.
Menurut Ami memang beralasan, pemerintah melarang warga muslim Indonesia tidak mudik tahun ini. Mobilitas mudik menurutnya dapat memperluas sebaran virus corona. Belum lagi resiko perjalanan jauh perantau, yang harus melewati zona merah lain corona.
“Kami juga sayang mereka. Kami khawatir bila mereka pulang kampung. Karena virus ini serius. Biarlah kami aman disini, dan Kakak juga aman di Jakarta,” sambungnya.
Ami berharap kesadaran para perantau lain Madura yang masih nekat mudik tahun ini. Mudik berarti memperbesar resiko sebaran corona. Mudik membahayakan si-pemudik dan keluarga besarnya di rumah.
“Siapa yang tidak sedih jika tidak dapat bertemu keluarga setahun sekali. Saya, Abah, Umi juga merasakan. Bayangkan, Abah dan Umi bahkan sudah membelikan Kakak sarung dan sajadah baru untuk digunakan shalat Ied nanti,” ujar Ami sambil berlalu. (*)
* Penulis Didik Setia Budi, tinggal di zona merah.