SUMENEP, SEPUTARJATIM – Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, Madura, Jawa Timur, akan menggelar Festival Tan Panganantanan dengan tema “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”.
Kegiatan tersebut digelar untuk merawat dan melestarikan budaya lokal dan mencegah permainan tradisional anak yang hampir punah di Kota Keris. Selain itu juga untuk meningkatkan taman edukasi anak-anak selain di sekolah.
Kepala dinas Pendidikan melalui Ketua Komunitas Peduli Pendidikan Sumenep, Abd Rahman mengatakan, bahwa Tan-Pangantanan ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, akan tetapi pada saat ini anak-anak tidak mengenalnya.
“Ini sengaja mengangkat nudaya lokal, dan untuk budaya-budaya di Sumenep ini, sudah mulai dihidupkan kembali atau di giatkan agar tidak menjadi punah. Maka untuk itu di festival kali ini sasarannya kepada kanak-kanak dan sekolah sasar,” katanya, Senin (20/5/24)
Lanjut ia menegaskan, bahwa Disdik hanya sebagai pendamping yang menangani, bukan lantas sebagai penyelenggaraan. Sebab, festival ini juga bagian dari kalender of event Sumenep 2024.
“Dari segi konsep, ini sengaja mengambil pengantin yang ada di kabupaten Sumenep yaitu pengantin Legha, Kapotren, dan Lilin. Karena dari dulu yang bermain itu anak setelah panen raya, baik itu padi, jagung, buah-buahan dan lainnya,” tegasnya.
“Kami berharap, karena ini saya rasa moment bagus untuk anak-anak sebagai sarana menggaungkan kembali budaya lokal tak benda di Sumenep lebih dikenal masyarakat umum,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pembinaan SD Disdik Sumenep, Ardiansyah Ali Sobich mengatakan, festival-festival tradisional, seperti festival pengantin, tidak hanya sekadar gelaran atau perayaan saja.
Tetapi, kata dia, sebagai wahana penting untuk memperkuat identitas budaya dan mendorong pemahaman nilai-nilai tradisional di tengah arus modernisasi yang terus berubah, apalagi tantangan anak-anak saat ini adalah gadget.
“Saat ini, di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, sangat penting bagi generasi muda untuk tetap terhubung dengan akar budaya mereka. Festival seperti ini adalah kesempatan langka untuk menghormati dan mewarisi warisan budaya yang kita miliki,” jelasnya.
Tak hanya itu, Ardiansyah juga menyoroti peran sekolah dalam membentuk karakter anak-anak. Sebab, pendidikan karakter bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang nilai-nilai moral dan budaya.
“Melalui pendidikan karakter, kita dapat mengajarkan generasi muda untuk menghargai dan memelihara nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita,” tambahnya.
Dengan begitu, ia mengajak semua pihak, baik masyarakat maupun lembaga pendidikan, untuk bersatu dalam upaya menjaga dan memperkaya kekayaan budaya bangsa, sebagai fondasi yang kokoh bagi masa depan yang lebih baik.
Sekedar Informasi, festival ini akan digelar pada tanggal 25 Mei 2024 mendatang. Start dari depan Rumah Dinas (Rumdis) Bupati sampai di depan Labeng Mesem Kraton Sumenep
Untuk diketahui, rangkaian Peristiwa dalam bait-bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.” Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas topa’, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa lain, kata, “kalimas topa” memiliki makna lain pula.
Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu lirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep). (Sand/EM)
*