Opini

Festival Tembakau Madura, Antara Meriahnya Pameran dan Bayang-Bayang ‘Pabrikan Hantu’

×

Festival Tembakau Madura, Antara Meriahnya Pameran dan Bayang-Bayang ‘Pabrikan Hantu’

Sebarkan artikel ini
1756824973999.1756824952952.IMG 20250902 WA0062
Mantan Ketua HMI Komisariat Tarbiyah Pamekasan, A. Nurdin Faynani (Doc. Seputar Jatim)

SEPUTAR JATIM – Festival Tembakau Madura di GOR A. Yani Sumenep selalu jadi panggung penting bagi pabrikan rokok lokal. Ajang ini bukan sekadar tempat promosi, melainkan etalase identitas. Tembakau Madura, yang sejak lama jadi denyut ekonomi masyarakat ditampilkan dalam bentuk kreasi industri yang beragam.

Dari merek lawas yang masih bertahan sampai pendatang baru yang mencoba menancapkan pijakan, semua hadir meramaikan festival. Atmosfernya meriah, seolah merayakan warisan sekaligus masa depan tembakau.

Namun, di tengah keramaian itu, publik dikejutkan dengan munculnya produk PR Maghfiroh Jaya dengan varian Hafa Oren, Hafa Mangga dan Hafa Original. Ada pula PR Mutiara Alif dengan Benny Jambu dan BN Benny Cappuccino. Kehadiran nama-nama ini langsung memantik pertanyaan: benarkah dua pabrikan itu benar-benar memproduksi rokok atau hanya sekadar tampil di panggung pameran tanpa produksi nyata?

Pertanyaan ini bukan isapan jempol. Jejak digital sempat ramai membicarakan dugaan adanya “pabrikan hantu” di Sumenep. Istilah itu merujuk pada perusahaan yang sah secara legal tapi tak menunjukkan geliat produksi. Mereka muncul di ruang publik tapi absen di balik deru mesin pabrik.

Fenomena ini memicu perdebatan panjang. Mulai dari dugaan permainan perizinan, distribusi pita cukai hingga persoalan kepercayaan publik terhadap integritas industri rokok lokal.

Festival pun jadi cermin. Di satu sisi, ia memantulkan semangat produksi nyata. Di sisi lain, ia bisa berubah jadi panggung pencitraan. Wajar jika publik bertanya, sebab keterlibatan pabrikan yang diragukan justru mengurangi makna festival itu sendiri. Perayaan kebanggaan tembakau Madura jangan sampai berubah jadi panggung legitimasi “pabrikan hantu”.

Baca Juga :  Refleksi 57 Tahun KOPRI Membangun Negeri: Kader Putri Harus Cendikia

Seperti kata Tan Malaka dalam Madilog, “Berpikir itu harus dengan fakta, logika dan pengalaman.” Publik memang tak boleh menelan mentah-mentah klaim produksi. Fakta perlu ditelusuri, logika diuji dan pengalaman sosial-ekonomi dijadikan tolok ukur. Tanpa itu, festival hanya jadi tontonan semu, sementara panggung ekonomi lokal dipenuhi bayangan tanpa wajah.

Apakah PR Maghfiroh Jaya dan PR Mutiara Alif benar-benar punya produk sebagaimana ditampilkan di festival atau hanya sekadar membangun citra? Jawaban ini menuntut transparansi dari pemilik usaha, keberanian aparat menelisik dan ketelitian publik membaca gejala.

Pada akhirnya, publik tidak bisa menutup mata bahwa Festival Tembakau Madura seharusnya menjadi panggung penghormatan bagi keringat petani, keterampilan perajin dan kesungguhan pabrikan yang benar-benar menghidupkan roda produksi. Bukan sekadar panggung ilusi yang disulap jadi pesta branding dengan kemasan meriah namun hampa isi.

Jejak digital yang pernah menyeruak tentang PR Maghfiroh Jaya dan PR Mutiara Alif ibarat tanda seru di tengah kalimat panjang sejarah tembakau Madura. Jika benar keduanya hanya hadir sebatas nama di atas kertas tanpa dentuman mesin produksi dan tanpa nadi distribusi yang nyata, maka keikutsertaan mereka di festival lebih mirip bayangan di cermin: tampak jelas dari luar tetapi hilang ketika disentuh.

Fenomena ini sejatinya menjadi ujian bagi integritas industri rokok lokal. Sebab, jika festival justru dipenuhi oleh “pabrikan hantu”, maka yang dirayakan bukan lagi kebanggaan atas otentisitas tembakau Madura melainkan legitimasi semu yang menyesatkan. Layaknya wayang tanpa dalang, panggung hanya ramai di permukaan tetapi kosong di balik layar.

Kini, masyarakat menunggu dengan cemas sekaligus berharap: apakah aparat dan pemangku kebijakan berani menelusuri lebih dalam, menguak jejak digital yang beredar dan menguji kebenaran klaim produksi itu? Apakah PR Maghfiroh Jaya dan PR Mutiara Alif benar-benar berdiri sebagai pabrikan dengan denyut produksi nyata atau hanya nama yang dipoles untuk tampil di panggung, sekedar menjadi simbol dari legitimasi yang rapuh?.

Penulis : Mantan Ketua HMI Komisariat Tarbiyah Pamekasan, A. Nurdin Faynani

Editor : EM

Tinggalkan Balasan