SEPUTAR JATIM
“Ilmu itu seperti binatang buruan, dan tulisan adalah tali pengikatnya. Maka ikatlah binatang buruanmu dengan tali yang kuat.” – Umar bin Khattab (RA)
“Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan tulisan, seorang penulis dapat berbicara dengan generasi yang belum lahir” .-Pramoedya Ananta Toer.
“Menulis adalah cara untuk berbicara tanpa terdengar.” – Carolyne Kennedy
Kata-kata bijak dari ketiga tokoh di atas sudah cukup mewakili untuk memotivasi diri saya dalam menuangkan apa yang ada dalam otak dan hati. Sudah sering saya sampaikan pada teman-teman mahasiswa bahwa orang yang membaca tanpa menulis ibarat orang pincang, artinya orang yang membaca telah memiliki pengetahuan yang luas, akan tetapi tidak bermanfaat untuk orang lain karena ilmunya tidak dibagikan sehingga dalam kehidupan Ia hanya berjalan seorang diri tanpa memiliki makna. Begitu juga orang menulis, tetapi tidak membaca ibarat orang buta. Artinya orang itu tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas sehingga apa yang dia tulis terkadang ngawur/sembarangan tanpa konsep yang benar. Pada akhirnya akan merugikan orang lain akibat dari tulisan-tulisannya. Oleh sebab itu membaca dan menulis harus berjalan beriringan karena tulisan yang baik didapatkan dari hasil bacaan yang baik pula.
Menulis bagi saya tidak hanya sekadar mengobral diksi, tetapi ada hal penting yang harus diselipkan di antara oretan itu, yakni kebermanfaatan pengetahuan. Sebuah tulisan harus bisa meninggalkan jejak yang melekat pada pikiran pembaca. Sebuah inspirasi selayaknya muncul dalam benak pembaca setiap menikmati rangkaian kata-kata kita. Menulis bukan hanya melampiaskan perasaan, apalagi emosi tak terkendali yang hanya bertujuan membuka aib seseorang (baca:menulis berita). Menulis adalah ekspresi jiwa yang mampu membangun mimpi indah dan membangkitkan gairah pembaca untuk bergerak positif. Apa yang dibaca mampu mengubah pola pikir dan pola sikap ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya. Justru disinilah peran penulis sangat penting untuk meluapkan ide dan pikirannya dengan tujuan yang baik sehingga mampu memberikan inspirasi dan perubahan yang baik pula pada pembaca.
Penulis merupakan Tuhan bagi tulisan-tulisannya. Dia bebas menulis apa saja yang terpendam dalam pikiran, apa yang dilihat, dan hal-hal yang diyakini. Penulis bebas memilih kata-kata yang ingin dirangkai dalam sebuah kalimat hingga menjadi paragraf. Penulis juga leluasa memilih sasaran permasalahan yang ingin dibahas sesuai keinginannya. Namun, kebebasan itu tidak bersifat mutlak atau euforia belaka. Namun, konsep kebebasan mutlak juga memerlukan pertimbangan etis dan tanggung jawab.
Saya masih menyimpan ingatan yang kuat terhadap pesan senior, saudara sekaligus guru menulis saya (Mas Abd. Kadir), bahwa menulis itu bebas, tetapi berbatas. Kebebasan tulisan kita harus tetap bisa dipertanggungjawabkan, baik secara akademik (sesuai tata bahasa dan bukan plagiasi), Hak Asasi Manusia (hukum), dan secara sosial (berpengaruh baik/buruk). Hal ini tentunya berkaitan dengan kebermanfaatan pengetahuan tadi, tulisan kita harus mampu memberikan jalan terang bagi pembaca, bukan sebaliknya.
Tulisan kita harus mampu memengaruhi dan memberikan kesan yang dalam pada pembaca sehingga mampu mengikuti atau sedikitnya mengambil sesuatu dari apa yang dibaca dan dapat diaplikasikan dalam hidupnya. Berguna untuk dirinya, lebih-lebih bagi orang lain. Hasil tulisan yang menyampaikan ajaran luhur tentang sikap dan nilai-nilai budi pekerti akan mampu mengubah pemikiran pembaca. Bercermin dari Rasulullah Muhammad SAW yang mampu melakukan perubahan terhadap tatanan kehidupan manusia berabad-abad lamanya karena ajaran-ajaran beliau yang tertuang dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Karl Marx mampu mengubah Rusia melalui Das Capital, Imam Al-Ghazali mampu mengubah gairah ilmu dan ibadah umat muslim melalui tulisan Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama), dan masih banyak tokoh/penulis lainnya yang mampu mengubah dunia.
Secara langsung atau tidak langsung, seorang penulis berperan sebagai guru/pendidik bagi pembacanya. Mereka (penulis) akan banyak memiliki murid, santri, atau mahasiswa bahkan pengikut yang jumlahnya tak terbatas pada umur, ras, agama, tingkat pendidikan, dan suku. Semua lapisan masyarakat dengan sukarela bisa dan boleh mengaku berguru kepada penulis tertentu yang karyanya telah dibaca. Proses menjadi murid ini tentunya tidak berjalan secara formal, akantetapi berjalan dengan sendirinya. Ketika dia membaca karya-karya penulis secara otomatis pembaca itu telah berguru. Pendidikan yang dilakukan penulis merupakan pendidikan sepanjang masa karena pembaca dapat bertanya, menjawab, dan mengetahui sesuatu hal tertentu hanya lewat membaca tulisan tersebut tanpa dibatasi jarak dan waktu.
Kesempatan menulis bersama mahasiswa bagi saya adalah kesempatan untuk berbagi cerita bahwa sebuah perjuangan untuk membangun semangat, perjalanan kehidupan yang bermakna, dan berbagi ilmu pengetahuan dengan tanpa suara dapat disimpan pada coretan pena berupa tulisan. Melalui ujung pena itu kita mampu membangun ekspresi diri, menuangkan emosi, dan sekaligus menjaga harga diri.
Pesan saya…teruslah menulis…menulis dan menulis agar keberadaanmu diakui dan terjaga.
Oleh: Dosen PBSI STKIP PGRI Sumenep dan Pegiat Literasi Sumenep, Suhartatik.
*