SEPUTAR JATIM – Menjelang Pilkada 2024, Kota Malang kembali menjadi pusat perhatian dalam peta politik Jawa Timur. Kota ini bukan hanya dikenal sebagai pusat pendidikan dengan jumlah mahasiswa lebih dari 200.000 yang tersebar di universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang, tetapi juga sebagai arena strategis perebutan suara generasi muda.
Pemilih muda yang terdidik memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak perubahan politik berbasis kebijakan rasional dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Namun, potensi ini tidak serta-merta menjamin pergeseran menuju politik ideal. Kota Malang juga menghadapi tantangan klasik yang mengakar kuat dalam tradisi politik Indonesia, seperti uang, patronase, dan politik identitas.
Dalam teori partisipasi politik yang dikemukakan oleh Verba dan Nie (1972), tingkat pendidikan yang lebih tinggi memang berkorelasi dengan partisipasi politik yang lebih aktif dan kritis. Namun, dalam praktiknya, tekanan eksternal dan tradisi politik lama sering kali menghambat optimalisasi kesadaran politik pemilih.
Sebagai kota dengan budaya politik yang sedang berkembang, Malang menghadirkan potret menarik tentang bagaimana generasi muda dapat menjadi agen perubahan sekaligus berada di persimpangan pengaruh tradisi politik lama. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengintegrasikan kesadaran politik yang progresif dengan mekanisme demokrasi yang bersih dari praktik koruptif, seperti politik uang, yang sering kali menjerat pemilih dalam pengambilan keputusan yang pragmatis.
Dinamika Politik Lokal
Seymour Martin Lipset Dalam tulisannya Political Man: The Social Bases of Politics (1959), Lipset mengatakan bahwasanya pendidikan memiliki peran penting dalam memperkuat demokrasi.
Menurut Lipset, pendidikan meningkatkan kemampuan individu untuk memahami isu-isu politik, menganalisis kebijakan publik, dan berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Pendidikan juga membantu individu menjadi lebih toleran terhadap perbedaan pendapat, sehingga menciptakan budaya politik yang lebih inklusif dan demokratis.
Namun, realitas politik di Kota Malang menjelang Pilkada 2024 menunjukkan adanya dualitas yang kompleks. Di satu sisi, pemilih muda yang terdidik memberikan peluang besar bagi perubahan yang berorientasi pada kebijakan berbasis data dan pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain, demokrasi lokal tetap dibayangi oleh tradisi politik uang, pengaruh jaringan patronase, dan politik identitas, yang mengancam integritas proses pemilu.
Dalam konteks ini, teori bounded rationality yang diperkenalkan oleh Herbert Simon relevan untuk menjelaskan perilaku pemilih muda. Teori ini menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan, individu sering kali tidak dapat sepenuhnya rasional karena keterbatasan informasi, waktu, dan tekanan eksternal.
Di Kota Malang, keterbatasan ini terlihat dalam situasi di mana pemilih muda, meskipun memiliki akses pendidikan tinggi, tetap rentan terhadap pengaruh pragmatis, seperti tawaran politik uang atau janji-janji sosial yang dikemas dengan cara modern. Selain itu, tradisi politik patronase yang masih mengakar kuat di Indonesia memperumit dinamika ini. Dalam teori patron klien, hubungan ini sering kali tidak hanya mencerminkan loyalitas, tetapi juga keterikatan ekonomi atau sosial yang membuat pemilih sulit untuk sepenuhnya bebas dalam menentukan pilihan.
Hal ini semakin diperburuk oleh minimnya pengawasan terhadap aliran dana kampanye, yang sering kali digunakan untuk memengaruhi pemilih melalui berbagai bentuk bantuan atau insentif.
Namun demikian, terdapat indikasi positif berupa kesadaran politik yang meningkat di kalangan pemilih muda. Kesadaran ini memberikan peluang bagi aktor politik untuk memanfaatkan pendekatan kampanye berbasis kebijakan yang lebih substantif.
Tantangannya adalah bagaimana menciptakan lingkungan politik yang memungkinkan generasi muda di Malang untuk berpartisipasi secara aktif tanpa terjebak dalam jebakan pragmatisme politik uang dan tekanan patronase.
Selain tantangan tradisional seperti politik uang dan patronase, dinamika politik di Kota Malang juga dipengaruhi oleh keberadaan mafia politik pengusaha rokok yang mulai menjamur, mereka semua yang memainkan peran signifikan dalam proses demokrasi local di Kota Malang.
Dalam Pilkada 2024 para kelompok pengusaha ini sering kali berperan sebagai pendukung finansial utama bagi calon kepala daerah, dengan tujuan tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperluas pengaruh mereka dalam kebijakan publik dan proyek-proyek strategis di daerah. Fenomena ini seringkali melibatkan elite capture, yang merujuk pada pengambilalihan sistem politik oleh sekelompok elite untuk memperkaya diri mereka dan mengamankan keuntungan pribadi.
Menurut Winters (2011), kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kelompok elite termasuk pengusaha besar dapat digunakan untuk memanipulasi proses demokrasi demi kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Di Kota Malang, pengusaha besar memiliki akses yang luas terhadap sumber daya, jaringan ekonomi, dan bahkan media lokal, yang memungkinkan mereka untuk mempengaruhi arah kebijakan daerah secara signifikan.
Aliansi strategis antara kandidat politik dengan pengusaha lokal ini sering kali melibatkan saling tukar daya dukung. Pengusaha memberikan suntikan dana kampanye yang besar, akses ke media promosi, serta penggalangan massa yang efektif, dengan harapan memperoleh imbalan berupa akses terhadap kebijakan ekonomi, proyek infrastruktur, perizinan, dan bahkan kontrak-kontrak besar yang dapat menguntungkan mereka secara finansial.
Praktik ini menggambarkan hubungan simbiotik di mana politik dan ekonomi saling memperkuat, namun pada saat yang sama dapat merugikan masyarakat umum yang seharusnya mendapatkan manfaat dari kebijakan yang lebih adil.
Teknologi Digital dalam Politik Lokal
Perkembangan teknologi digital memberikan dimensi baru dalam proses politik lokal, termasuk Pilkada 2024 di Kota Malang. Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok telah menjadi platform utama bagi kandidat untuk menyampaikan visi-misi mereka secara langsung kepada pemilih muda. Selain itu, teknologi finansial, seperti dompet digital dan aplikasi pembayaran, mulai digunakan sebagai medium distribusi bantuan sosial yang kerap disamarkan sebagai bagian dari praktik politik uang.
Menurut Yunas (2024), meskipun pemilih muda cenderung lebih kritis dan memilih berdasarkan program kerja serta kebijakan calon, mereka tidak sepenuhnya kebal terhadap pengaruh praktik pragmatis seperti politik uang yang kini bermetamorfosis melalui teknologi. Hal ini sejalan dengan konsep digital patronage, di mana bantuan berbasis teknologi digunakan untuk membangun loyalitas politik tanpa transparansi yang memadai.
Teori yang Mendukung
Fenomena ini dapat dianalisis menggunakan teori technological affordances oleh Lan Hutchby (2001), yang menyatakan bahwa teknologi memberikan peluang (affordances) sekaligus batasan (constraints) bagi penggunanya. Dalam konteks ini, teknologi digital memberikan peluang untuk memperluas jangkauan kampanye dan memfasilitasi keterlibatan pemilih, tetapi juga menghadirkan batasan berupa meningkatnya risiko penyalahgunaan untuk praktik politik uang yang lebih sulit diawasi.
Selain itu, teori network society oleh Manuel Castells menyoroti bagaimana teknologi informasi mengubah struktur sosial dan politik. Dalam masyarakat berbasis jaringan, akses informasi menjadi lebih inklusif, tetapi juga memungkinkan manipulasi informasi yang lebih strategis, termasuk penyebaran propaganda atau penggunaan platform digital untuk mengaburkan aliran dana kampanye.
Tantangan dan Solusi
Tantangan utama dalam pengawasan politik berbasis teknologi adalah minimnya regulasi yang spesifik terhadap penggunaan dompet digital atau platform pembayaran dalam konteks pemilu. Hal ini memperumit upaya lembaga seperti KPU dan Bawaslu dalam melacak aliran dana kampanye yang tidak transparan.
Harapan dan Tantangan
Potensi perubahan politik di Kota Malang sangat besar, terutama dengan semakin meningkatnya kesadaran kritis generasi muda sebagai pemilih. Kelompok ini memiliki akses yang luas terhadap informasi melalui pendidikan formal maupun media digital, yang memberikan peluang besar untuk mendorong perubahan berbasis kebijakan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Pilkada 2024 memberikan momentum penting bagi generasi muda untuk memainkan peran sebagai agen transformasi politik lokal.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah sederhana. Praktik politik uang yang telah lama mengakar, pengaruh patronase yang berbasis loyalitas sosial, dan lemahnya pengawasan terhadap aliran dana kampanye menjadi penghalang utama bagi demokrasi yang sehat.
Dalam konteks ini, teori Strukturasi oleh Anthony Giddens (1984) memberikan wawasan penting bahwasanya Kota Malang, praktik politik uang dan patronase dapat dipahami sebagai struktur sosial yang terus direproduksi oleh aktor-aktor politik maupun pemilih.
Untuk mengubahnya, diperlukan tindakan kolektif yang kuat dari generasi muda atau kelompok reformis yang memiliki kapasitas untuk memengaruhi struktur tersebut, misalnya melalui pendidikan politik atau literasi digital, dia juga menjelaskan bahwa tradisi atau kebiasaan yang sudah mapan, seperti politik uang dan patronase, cenderung sulit diubah karena adanya ketergantungan struktural dan institusional pada praktik-praktik tersebut.
Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap kampanye berbasis teknologi, seperti penggunaan dompet digital atau media sosial untuk memfasilitasi politik uang, menambah kompleksitas tantangan. Generasi muda yang meskipun kritis sering kali terjebak dalam keputusan pragmatis karena kurangnya regulasi yang memadai atau tekanan sosial.
Pilkada 2024 di Kota Malang mencerminkan kompleksitas politik lokal di Indonesia, di mana harapan untuk perubahan berbasis rasionalitas bersinggungan dengan tantangan tradisi politik lama seperti politik uang dan patronase. Generasi muda Kota Malang, dengan tingkat pendidikan dan kesadaran politik yang lebih tinggi, menjadi harapan utama untuk mendorong perubahan ke arah demokrasi yang lebih sehat dan berorientasi pada kebijakan.
Namun, tantangan ini tidak dapat diatasi tanpa pendekatan strategis yang melibatkan pendidikan politik, literasi digital, dan penguatan sistem pengawasan terhadap praktik-praktik yang merusak demokrasi.
Para generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam menolak praktik ini dengan memilih berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak kandidat, bukan atas dasar iming-iming materi. Pemilu adalah kesempatan untuk mengubah arah pembangunan daerah dan menentukan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk mendukung proses pemilu yang jujur, adil, dan transparan, dengan meninggalkan tradisi politik uang yang hanya memperpanjang siklus kerusakan dalam sistem demokrasi. Politik uang bukanlah solusi, melainkan ancaman nyata bagi demokrasi.
Masa depan Kota Malang ada di tangan generasi yang berani menolak tawaran pragmatis demi memilih pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyat. Dengan pendidikan politik yang mendalam, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, dan komitmen bersama untuk membangun demokrasi yang bersih, Malang dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia. Saatnya berkata tegas: Katakan tidak pada politik uang. Katakan ya pada masa depan yang lebih baik.
Penulis: Achmad Firman Maulana
Editor: EM
*