News

Sapeken, Pulau Religius yang Kental dengan Norma Adatnya Sedang Diuji oleh Kasus Nadia

×

Sapeken, Pulau Religius yang Kental dengan Norma Adatnya Sedang Diuji oleh Kasus Nadia

Sebarkan artikel ini
1755860252053.IMG 20250822 WA0063
Kepala Desa Sapeken, Joni Junaidi (Foto Istimewa)

SUMENEP, Seputar Jatim – Sapeken salah satu pulau kecil di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, dikenal sebagai wilayah yang berpegang teguh pada aturan adat bernuansa religius sesuai Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2015.

Dimana perdes tersebut mengatur soal berpakaian, pergaulan, hingga sanksi adat bagi pelanggarnya baik warga asli maupun pendatang.

Namun, keteguhan adat di Pulau Sapeken ini diguncang oleh kasus yang menyeret nama seorang perempuan bernama Nadia (21). Ia baru pulang dari perantauan dengan tubuh bertato dengan berpenampilan yang mencolok.

Dengan penampilan tersebut ia dianggap melanggar norma yang telah diaturnya, sehingga diduga mendapat perlakuan kasar dari Kepala Desa (Kades) Sapeken, Joni Junaidi, setelah ditegur karena berpakaian minim dan dibonceng pria yang bukan muhrimnya.

Peristiwa itu berakhir dengan laporan polisi. Atas kejadian itu Sapeken kembali menjadi bahan perbincangan publik.

Saat dikonfirmasi, Nadia pun buka suara dan mengaku teguran itu disertai kekerasan.

“Beliau tanya kapan saya datang, lalu pipi saya ditempeleng. Makanya saya lapor polisi,” katanya, Jumat (22/8/2025).

Baca Juga :  Nur Faizin Akui Rokok Ilegal di Madura Rugikan Negara, Publik: Dia Tidak Ingin Melihat Warga Madura Makmur

Sementara itu, Kepala Desa Sapeken, Joni Junaidi menyabutkan, bahwa aturan adat di Sapeken tidak sekadar himbauan moral. Warga yang melanggar norma dapat dikenakan sanksi tegas.

Bila ada pasangan muda-mudi yang kedapatan berbuat mesum di tempat terbuka bisa dihukum cambuk rotan 25 kali di balai desa.

Sedangkan mereka yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, harus rela digunduli, dipakaikan celana pendek, dan diarak keliling kampung.

“Ini bukan desa biasa. Kami punya tanggung jawab menjaga marwah Islam dan adat. Kalau ada yang melanggar, tentu kami tegur,” ujarnya.

Menurutnya, aturan tersebut menjadi benteng moral yang telah disepakati bersama oleh perangkat desa, tokoh agama, dan masyarakat.

Bahkan, kata dia, wisatawan asing yang pernah berkunjung pun disebut ikut menghormati aturan berpakaian sopan selama berada di Sapeken.

“Kalau orang luar saja patuh, masak warga sendiri melanggar,” tegasnya.

Lanjut ia menyebutkan, bahwa nama Nadia bukan kali ini saja jadi sorotan. Tahun lalu, ia sempat dipanggil perangkat desa setelah dilaporkan warga karena nongkrong di pelabuhan dengan pakaian minim, rambut pirang, rokok di tangan, dan tato di tubuhnya.

Saat itu, Nadia menandatangani surat pernyataan untuk menaati norma adat dan agama di Sapeken. Namun, gaya hidup modern yang dibawanya dari Bali tampak sulit dilepaskan.

Baca Juga :  Nur Faizin Gencar Ingin Berantas Rokok Ilegal, Paguyuban Pengusaha Rokok Sumenep: Rakyat Kecil Mau Makan Apa?

“Terakhir saya lihat dia di pelabuhan, dibonceng laki-laki bukan muhrim dengan rok mini robek di bagian depan. Saya tegur baik-baik, tapi jawabannya tidak sopan. Saya hanya menepis refleks, bukan menganiaya,” bebernya.

Tak hanya itu, Tokoh Agama Sapeken, AD Dailamy Abuhurairah menyatakan, dukungan penuh terhadap penerapan aturan adat. Menurutnya, program ‘Sapeken Bersatu’ dan ‘Sapeken Ibadah’ adalah upaya kolektif menjaga moralitas masyarakat agar tetap religius.

“Kalau aturan ini longgar, maka identitas Sapeken bisa hilang,” jelasnya.

Ia mengaku kasus Nadia kini lebih dari sekadar perselisihan antara kepala desa dan warganya. Ia menjadi simbol benturan keras antara tradisi yang selama ini dijaga ketat, dengan modernisasi yang terus merasuki generasi muda pulau itu.

Bagi sebagian warga, aturan adat adalah tameng agar Sapeken tetap religius dan harmonis. Namun bagi yang lain, aturan itu bisa menimbulkan gesekan dengan hukum positif dan kebebasan individu.

Senada dengan pernyataan salah seorang Tokoh Masayarakat di Pulau sapeken yang menilai bahwa kasus Nadia hanyalah potret kecil dari tantangan besar yang dihadapi pulau itu.

“Adat itu ibarat benteng terakhir Sapeken. Kalau benteng ini runtuh, maka identitas kita sebagai masyarakat religius bisa hilang, Tapi adat juga harus bisa berdialog dengan zaman, agar tidak selalu dihadapkan dengan hukum negara,” tandasnya.

Terpisah, Kapolsek Sapeken, AKP Taufik membenarkan, bahwa laporan Nadia sedang diproses sesuai prosedur hukum.

“Kami masih mendalami kasus ini, memintai keterangan dari para pihak, dan menempuh langkah sesuai aturan yang berlaku,” imbuhnya. (EM)

*

Tinggalkan Balasan