News

PAMDAS Jadi Pilihan Unik pada Malam Penutupan PSM 9 Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep

×

PAMDAS Jadi Pilihan Unik pada Malam Penutupan PSM 9 Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep

Sebarkan artikel ini
IMG 20250619 WA0070 scaled
BAHAGIA: Ketua STKIP PGRI Sumenep, Asmoni, saat menyerahkan trophy kepada pemenang lomba baca puisi pada penutupan acara PSM ke-9 (SandiGT - Seputar Jatim)

SUMENEP, Seputar Jatim — Pekan Seni Madura (PSM) ke-9 resmi ditutup oleh Ketua STKIP PGRI Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Meski perayaan budaya yang nyaris tak terlaksana sempurna, bukan karena kurang antusiasme, melainkan karena alam semesta menguji konsistensinya lewat hujan yang mengguyur hampir setiap hari.

Namun, panggung tetap menyala, gamelan tetap dipukul, dan penari tetap menari. Seakan-akan semua elemen PSM 9 bersikeras berkata budaya tidak akan menunggu cuaca cerah.

Penampilan Pemerhati Artis Musik Dangdut Sumenep (PAMDAS) menjadi pilihan unik di malam penutupan. Di tengah festival yang sejak awal mengusung semangat pelestarian seni tradisi, kehadiran PAMDAS justru menjadi titik temu antara seni rakyat dan seni populer.

Tak sedikit yang awalnya meragukan kehadiran grup dangdut sebagai penutup, tapi justru di sanalah publik melihat bahwa budaya tidak pernah tunggal.

“Kami ingin menunjukkan bahwa seni Madura tidak monokrom. Ia bisa berdendang, bisa bergetar, dan bisa bergaul dengan musik masa kini tanpa kehilangan jati diri,” kata Ketua UKM Sanggar Lentera, Ari Firmansyah, Kamis (19/6/2025).

Baca Juga :  Susun RPJMD 2025–2029, Bappeda Sumenep Pastikan Kepulauan Tak Lagi Jadi Pinggiran

Menurutnya, PSM tahun ini tidak mudah digelar. Selain tantangan teknis akibat cuaca, panitia juga menghadapi keterbatasan anggaran dan dinamika koordinasi lintas lembaga.

“Namun bagi kami, mempertahankan PSM bukan sekadar agenda tahunan, melainkan bentuk perlawanan terhadap kehilangan,” ucapnya.

Pihaknya sedang melawan pelupaan. Setiap panggung yang pihaknya dirikan adalah upaya menjaga jejak.

“Madura tidak boleh tercerabut dari identitas budayanya,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua STKIP PGRI Sumenep, Asmoni menyampaikan, bahwa keberlanjutan PSM adalah bagian penting dari pembangunan identitas kultural Kabupaten Sumenep sebagai kota budaya.

“Sumenep bukan hanya kota keris, tapi kota ekspresi. Kita harus merawat ruang-ruang semacam ini, bukan hanya untuk seniman, tapi untuk masyarakat luas agar tahu siapa mereka sebenarnya,” tuturnya.

Ia juga mendorong agar kegiatan seperti PSM tidak sekadar berakhir di panggung seremonial, tapi terus dievaluasi secara akademik dan kultural agar semakin berdampak pada pembangunan sektor kreatif dan pariwisata lokal.

Dengan berakhirnya PSM 9, tersisa semacam atmosfer antara lega dan rindu. Lega karena kegiatan berhasil digelar penuh, rindu karena panggung-panggung itu tak bisa dinyalakan setiap hari.

“Namun satu hal pasti mereka yang hadir, baik sebagai pelaku maupun penonton, membawa pulang lebih dari sekadar hiburan mereka membawa pulang kesadaran tentang siapa mereka dan ke mana mereka ingin membawa budaya Madura ke depan,” pungkasnya. (Sand/EM)

*

Tinggalkan Balasan