Seputarjatim.com- Addul Asnan diatas pohon. Nangkring di dahannya. Sesekali melongok ke bawah. Air masih menggenang. Dua hari, Dusun Pelangi mati. Tak ada aktifitas warga, sejak banjir menggenang.
“Kenapa bisa banjir besar begini, Dul?” Asnan membuka percakapan.
“Mungkin karena hujannya deras. Air laut naik. Jadi aliran sungai mandek, dan membanjiri Dusun kita,” jawab Addul ilmiah.
Keduanya lalu memandang permukiman. Sawah banjir. Tambak meluap. Kasur, bantal, kambing, ayam, diatas genting. Diikat. Sepi warga, mereka mengungsi. Addul Asnan diberi mandat menjaga.
“Pak Kadus harus segera bertindak. Bila tidak, habis dusun kita. Setiap hujan turun, banjir mesti terjadi. Parah,” keluh Addul ke Asnan. Asnan manggut-manggut.
Di kejauhan nampak sebuah rakit melaju. Pak apel mendayung diatasnya. Membawa bungkusan nasi. “Dul, Asnan, kalian dimana?” Panggil Pak Apel.
Addul Asnan gembira, waktu makan siang tiba. “Disini Pak Apel, pohon asam,” teriak Addul keras.
Rakit mendekat ke pohon asam. Tali diikat. Pak Apel bergabung naik ke atas. Wajahnya tampak lelah. Menjulurkan bungkusan plastik.
“Ini Nasinya. Dimakan dulu,” kata Pak Apel.
“Airnya belum surut-surut, Pak Apel,” lapor Addul Asnan.
“Iya. Saya juga bingung melapor ke siapa. Airnya masih tinggi. Tapi tenang, semua pejabat sudah turun ke bawah,” kata Pak Apel optimis.
Addul Asnan senyum sambil membuka nasi bungkusan. Perut keduanya keroncongan. Nasi lauk teripang disantapnya.
Tak berselang lama, rakit lebih besar terlihat di kejauhan. Seorang kepala dinas rupanya sedang melihat kondisi banjir. Sepatu bootnya kering. Wajahnya sibuk menelepon. Di sebelahnya, berdiri seorang staf. Menulis ini-itu sebagai laporan.
“Saya sudah difoto?” Tanya sang Kepala Dinas pada staf.
“Sudah Pak. Bagus fotonya,” ujar staf sambil menunjukkan hasil jepretannya.
“Ya sudah, ayo kita pulang,” lanjut Pak Kadis.
Diatas pohon Asam, Addul, Asnan, termasuk Pak Apel diam. (dik/red)